“Cinta adalah kecenderungan permanen yang dialami oleh kalbu orang yang dimabuk asmara.” Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim, Taman Jatuh Cinta, bab Akar Kata Nama-Nama Cinta dan Maknanya, ketika mulai menjelaskan pengertian cinta (mahabbah). Jadi, cinta sejati berlangsung abadi, selama-lamanya.
Bila ada “ilmuwan” yang mengemukakan hasil “penelitian” (yang kurang teliti) bahwa cinta antara pria-wanita hanya berlangsung selama 4 tahun, sedangkan seterusnya nafsu seks birahi, maka itu berarti bahwa sang “ilmuwan” belum mengenal cinta sejati lantaran kurang teliti. Sebab, dia hanya meneliti “gairah” cinta dan belum mendalami cinta sejati itu sendiri. Padahal, cinta sejati tidaklah semata-mata “gairah” dalam bercinta. (Lihat “Ternyata Cinta Tidak Mustahil Abadi“.)
Kalau pada suatu hari ada seseorang yang mengatakan bahwa dia tidak mencintaimu lagi, maka itu berarti ada dua kemungkinan: [1] sebelumnya dia pun tidak sungguh-sungguh mencintaimu, atau [2] sekarang dia masih mencintaimu walau tidak mengakuinya.
Andaikan suamimu menyatakan bahwa dia tidak mencintaimu lagi dengan alasan bahwa tubuhmu tidak sexy lagi, maka dapat diartikan bahwa sejak dulu pun dia tidak pernah mencintaimu, tetapi hanya “mencintai” keseksian tubuh wanita.
Jika engkau hendak mencintai dia sampai akhir hayat dikandung badan, yaitu sampai ajal datang, maka cintamu belum sempurna, belum tergolong cinta sejati. Sebab, cinta sejati itu tidak berhenti sewaktu kita berada di dunia saja, tetapi juga kelak di kehidupan akhirat kita.
Allah Sang Maha Penyayang sudah memperingatkan bahwa pasangan yang mesra di dunia mungkin saja justru bermusuhan di Hari Pengadilan kelak. Dia berfirman, “Orang-orang yang akrab [di dunia ini] sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain pada Hari [Kebangkitan Kembali] itu, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS az-Zukhruf [43]: 67)
Mungkin saja di Hari Pengadilan itu, ketika kita disidang untuk mempertanggungjawabkan sikap dan perilaku kita yang mendekati zina, misalnya, maka kita akan saling tuding, “Kamu dulu yang merayuku. Jadi, kamulah yang bertanggung jawab.” Tapi, kita tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Semua sikap dan perilaku kita harus kita pertanggungjawabkan kelak di Hari Pengadilan itu.
Jadi, kalau kita menghendaki cinta sejati, salah satu syaratnya adalah menjadikannya abadi sampai kelak di surga akhirat. Kemudian supaya cinta kita menjadi abadi hingga kelak di surga akhirat itu, maka kita harus senantiasa menjaga ketaqwaan kita.
Kalau cinta kita membuat kita semakin bertaqwa, maka itu pertanda bahwa cinta kita adalah cinta sejati. Namun kalau cinta kita justru menjauhkan kita dari ketaqwaan, maka itu bukanlah cinta yang sesungguhnya, melainkan hawa nafsu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar